About Me

header ads

Peran Ahmadiyah Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia


“…Mereka (Jemaat Ahmadiyah, pen.) tidak pernah menggunakan taktik pintu belakang atau membonceng kekuatan-kekuatan lain secara tidak sportif dan karena itu tak pernah mendengar berita kericuhan di Indonesia dalam hal Ahmadiyah” (Tempo, 21 September 1974)”

Tidak sedikit putera Ahmadi yang gugur sebagai bunga bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara tercinta ini. Dorongan imaniat yang merupakan hal yang tak terpisahkan dari kehidupan seorang Ahmadi, suatu kecintaan yang tanpa pamrih, yang dilandasi suatu sabda qudus dari Rasul suci Muhammad saw, bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari Iman, mengantarkan Jemaat Ahmadiyah dan warganya untuk selalu tampil berkorban sebangsanya dimanapun mereka berada. Cukilan diatas salah satu dari antara sekian pengakuan pers dunia akan kesetiaan Ahmadiyah kepada pemerintah dan Negara dimana mereka berdiam. Dalam naskah yang ruang lingkupnya sangat terbatas ini tak dapat kami uraikan secara luas dan terperinci, akan tetapi kami berusaha mengemukakan hal-hal sepesifik yang esensil berkenan dengan judul diatas serelevan mungkin.

Berikut ini kami turunkan sebuah catatan pribadi dari seorang mubaligh Ahmadiyah, Sayyid Shah Muhammad. Catatan ini kami kutip langsung dari majalah “Sinar Islam” nomor Yubillium 50 tahun Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Sulh 1355, Januari 1976, No 15/tahun ke-IV. Berikut ini adalah penuturannya:

“…Saya terpaksa harus mengenangkan kembali peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang telah berlalu sekitar tiga puluh tahun, waktu saya masih aktif sebagai missionary Ahmadiyah di Jawa Tengah dan melibatkan diri dalam gejolak api revolusi 17 Agustus 1945, di kala Bangsa Indonesai bangun serentak membela dan menegakan haknya untuk menjadi satu bangsa yang merdeka"
(Catatan Mln. Sayyid Shah Muhammad Al-Jailani yang ditulis tahun 1975. Beliau wafat pada tahun 1983 di Bandung)


LATAR BELAKANG PERISTIWA

Untuk menyegarkan kembali ingatan, terutama dapat bermanfaat bagi para generasi muda, sebaiknya diterankan secara sepintas lalu kejaian-kejadian di latar belakang peristiwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam bulan Agustus 1945 Amerika menjatuhkan bom atom diatas kota Hiroshima dan Nagasaki, yang memaksa Kaisar Hirohito angkat tangan kepada sekutu dan melepaskan cengkeramannya di Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang telah dikuasainya selama 3 ½ tahun.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dan serentak menyusun pemerintahan Republik Indonesia. Dalam hal itu sementara Sekutu yang diwakili oleh tentara Inggris mendarat di Kepulauan Indonesia dengan tugas melucuti tentara Jepang. Belanda yang masih merasa berkuasa mempergunakan kesempatan-kesempatan itu dengan membonceng tentara Sekutu masuk ke Indonesia, dengan nama NICA (Nederlands Indies Civil Administration). Pemerintah RI merasa sukar untuk melanjutkan perjuangan di Ibukota Jakarta dan akhirnya dengan pertimbangan yang masak diantara para pemimpin maka diputuskan untuk memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta.

Para anggota Ahmadiyah yang tidak kalah patriotiknya, baik anggota biasa maupun pemimpin-pemimpin, ikut aktif bersama-sama rekan-rekan sebangsanya memasukan diri dalam kancah perjuangan, baik secara langsung mengangkat senjata sebagai anggota BKR-TKR ataupun lasykar-lasykar rakyat seperti TRIP dan dalam badan-badan perjuangan lainnya seperti “KOWANI”, KNI dan sebagainya.

Ketua PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada waktu itu, yaitu alhmarhum Bapak R. Mohammad Muhyidin pegawai tinggi RI, aktif dalam mempertahankan kedaulatan RI di Jakarta. Dan pada waktu akan diadakan perayaan Ulang Tahun RI pertama di Jakarta, beliau diangkat sebagai Sekertaris Panitia. Bahkan beliau sendiri pada hari perayaan kemerdekaan RI pertama memimpin barisan pawai dengan memegang bendera Sang Merah Putih dimuka barisan. Akan tetapi delapan hari sebelum HUT RI yang pertama, beliau telah diculik oleh Belanda dan hingga kini hilang tak tentu rimbanya. Menurut keterangan almarhum Pak Suwiryo dan almarhum Pak Yusuf Yahya, ex. Walikota dan Wakil Walikota Jakarta, beliau telah dibawa oleh serdadu-serdadu Belanda ke suatu tempat di Depok dan kemudian ditembak mati. Innalillahi wa inna ilaihi roji-un.

Saudara Maulwi Nuruddin dan Haji S. Yahya Pontoh giat sekali mengunjungi pemusatan atau tempat-tempat tentara India di Jakarta untuk menjelaska dalam bahasa Urdu dan Inggris kepada mereka kebenaran kesucian perjuangan Bangsa Indonesia hingga banyak dari tentara India menjadi insyaf dan melarikan diri dan kemudian menggabungkan diri dan berjuang bersama dengan bangsa Indonesia.

Sebelum tentara memasuki dan merebut kota Bandung, Bapak utusan Abul Wahid dan almarhum Malik Aziz Ahmad Khan aktif sebagai penyiar RRI untuk siaran bahasa Urdu untuk memperkenalkan perjuangan bangsa Indonesia ke benua alit India. Orang-orang Ahmadi di Sumatea Barat, Sumatera Utara tidak ketinggalan mengambil bagian dalam perjuangan fisik melawan Belanda. Perlu kiranya menjadi catatan, bahwa ketika RI memerlukan pinjaman uang dari rakyat, maka anggota Jemaat Ahmadiyah dengan spontan memberikan dengan segenap kemampuan yang ada. Tidak sedikit jumlah uang yang diberikan oleh Jemaat Ahmadiyah, umpamanya Cabang Garut.

BANTUAN AHMADIYA DI LUAR NEGERI

Pada akhir tahun 1946, tepatnya hari Selasa Legi tanggal 10-1-1946 tersiar sebuah pernyataan dari Imam Jemaat Ahmadiyah yang dimuat dalam surat-surat kabar antara lain: Kedaulatan Rakyat Jogyakarta, harian Merdeka Jakarta dan lain-lain yang disiarkan oleh Kantor Berita Antara dengan judul:

"MEMPERHEBAT PENERANGAN TENTANG REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI GERAKAN AHMADIYAH TUTUR MEMBANTU"

“Betapa besarnya perhatian gerakan Ahmadiyah tentang perjuangan kemerdekaan bangsa kita dapat diketahui dari surat-surat kabar harian dan risalah-risalah dalam bahasa urdu yang baru-baru ini diterima dari India. Dalam surat-surat kabar tersebut, dijumpai banyak sekali berita-berita dan karangan-karangan yang membentangkan sejarah perjuangan kita, soal-soal yang berhubungan dengan keadaan ekonomi dan politik Negara, biografi pemimpin-pemimpin kita, terjemahan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan lain-lain.

Selain itu tercantum juga beberapa pidato panjang yang lebar, mengenai seruan dan anjuran kepada pemimpin-pemimpin Negara Islam, supaya mereka dengan serentak menyatakan sikapnya masing-masing untuk mengakui berdirinya pemerintahan Republik Indonesia. Hal yang mengharukan ialah suatu perintah umum dari Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, Pemimpin gerakan Ahmadiyah kepada pengikut-pengikutnya di seluruh dunia yang berjumlah lebih kurang dua juta orang, supaya mereka selama bulan September dan Oktober yang baru lalu ini (1946) tiap-tiap hari Senin dan Kamis berpuasa memohon doa kepada Allah swt guna menolong bangsa Indonesia dalam perjuangannya memberi semangat hidup untuk bersatu-padu dalam cita-citanya menempatkan ru’b (ketakutan) didalam hati musuhnya serta tercapainya sekalian cita-cita bangsa Indonesia”.

“Ketika diadakan peringatan genap satu tahun berdirinya Republik Indonesia, pemimpin tersebut menurut harian Al Fazl – berpidato antaranya sebagai berikut : “Jika bangsa Indonesia akan mendapatkan kemerdekaan 100% tentulah hal ini akan berfaedah besar bagi dunia Islam. Untuk hal itu ada baiknya jika Negara-negara Islam pada masa ini dengan serentak memperdengarkan suaranya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia serta meminta supaya Negara-negara lain juga mengakuinya. Selain itu saya berharap, supaya seluruh Mubaligh (utusan) Ahmadiyah yang kini ada di India dan diluar India, yaitu Palestina, Mesir, Iran, Afrika, Eropa, Kanda, Amerika Serikat, Amerika Selatan dan lain-lain mendengugkan serta menulis dalam surat-surat kabar harian dan majalah-majalah yang mereka keluarkan, karangan-karangan yang berhubungan dengn perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya meminta kepada Negara-negara Islam untuk membantu bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya. Soal kemerdekaan Indonesia harus tiap-tiap waktu didengung-dengungkan, supaya Negara-negara didunia ini memperhatikan hal itu. Sudah menjadi haknya bangsa Indonesia untuk meredeka di masa ini. Bangsa ini adalah bangsa yang maju, memiliki peradaban tinggi serta mempunyai pemimpin-pemimpin yang bijaksana. Mereka adalah suatu bangsa yang besar dan bersatu. Bangsa Belanda yang jumlah kecil sekali-kali tidak berhak untuk memerintah mereka”

PERJUANGAN DI IBUKOTA JOGYAKARTA

 
“Tuan akan bicara dalam bahasa apa?” demikian Bapak Presiden Soekarno membuka percakapan setelah kami bersalaman “Dalam bahasa persatuan Bangsa Indonesia”, jawab saya. Atas jawaban itu nampak benar beliau sangat terkesan dan muka beliau berseri-seri. Waktu saya menyerahkan bingkisan kepada beliau saya ucapkan kata-kata demikian, “kami menghadiahkan kitab ini kepada Bung Karno dengan khidmat dan penuh hormat dengan penghargaan agar Paduka Yang Mulia sudi mempelajari isi kitab ini, kami harap Paduka Yang Mulia akan berani memproklamirkan keimanan kesuciannya sebagaimana Paduka Yang Mulia berani memproklamirkan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945”.

Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan penuh kesungguhan dan khidmat tapi sederhana itu, beliau tersentak berdiri dari duduknay lalau sambil memegang tangan saya mengucapkan kata-kata “Laa haula wa laa quwwata illa billaah… minda didoakan…minta didoakan….” Kata-kata itu diucapkan dengan berulang-ulang, sedangkan mata beliau tampak berkaca-kaca, seakan-akan air mata beliau mau keluar. Sementara kami minum-minum beliau mengatakan, “saya sangat gembira dan terima kasih kepada tuan atas segala bantuan dan perjuangan serta darma bakti pada bangsa dan pemerintah kami”

Beliau menganjurkan, “hendaknya tuan pindah di Yogyakarta saja, supaya kita dapat sering bertemu dan membicarakan soal-soal agama”. Saya menjawab, “saya akan istikharah dahulu setelah itu baru dapat mengambil keputusan”. Setelah melaksanakan sembahyang istikharah, diambillah keputusan untuk pindah ke Jogyakarta sesuai anjuran Bung Karno. Semenjak itu mulailah saya memberikan sumbangan tenaga dan fikiran dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

KONPERENSI AHMADIYAH DI JOGYAKARTA

Di Jogyakarta sudah menetap beberapa saudara anggota PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia seperti Bapak R. Hidayat dan Bapak Ahmad Sarido serta Bapak-bapak Ahmadi dari Jawa Barat, antara lain Bapak Harmaen, Bapak Dahnan Mansur, Bapak Karnaen dan lain-lain. Setelah mengadakan perundingan, Bapak-bapak tersebut mengambil prakarsa untuk mengadakan konperensi Jemaat Ahmadiyah di daerah RI bertempat di Jogyakarta.

Konprensi memikirkan langkah-langkah yang seharusnya diambil oleh Jemaat pad waktu itu sehubungan dengan diterimanya perintah dari Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. supaya kita membantu perjuangan Republik, sedang pada waktu itu belum mendapat pengakuan dari luar. Tanah air Indonesia masih dipersengketakan dengan Belanda. Badan itulah yang menjadi wadah bagi Jemaat untuk membantu perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia pada waktu itu.

Atas prakarsa Dewan Keamanan PBB, dimasa itu dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari beberapa Konsul Jendral Negara-negara asing yang berkedudukan di Jakarta. Anggota-anggota komisi itu seringkali mondar-mandir ke Jogyakarta. Pada suatu ketika Konsul Jendral Tiongkok Nasionalis yang namanya Mr. Chiang, sebagai anggota komisi tersebut mengunjungi Jogyakarta. Untuk menghormati kedatangan Konsul Jendral itu, di Presidenan diadakan suatu pertemuan yang dihadiri oleh para Menteri Kabinet, pembesar-pembesar militer maupun sipil dan para terkemuka.

Dalam pertemuan itu Mr. Chiag berpidato dengan bersemangat dan dengan nada sombong. Ia sangat mencela dan menghantam bangsa Indonesia atas kejadian-kejadian di Tangerang, Tegal, Malang dan lain-lain tempat dimana banyak penduduk China jadi korban. Setelah ia selesai berpidato, maka hadirin diberikan kesempatan untuk memberikan kata sambutan. Karena tiada seorangpun yang tampil kemuka dan memang keadaan tak mengizinkan dan kurang tepat untuk orang-orang Indonesia, saya memberanikan diri untuk menyambut pidato Mr. Chiang itu. Kurang lebih setengah jam lamanya saya kupas pidatonya itu.

Selesai memberikan sambutan saya diserbu oleh para pemimpin bangsa Indonesia seperti almarhum Bapak Panglima Besar Sudirman, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Dr. Sukirman, Mr. Sujarwo Condronegoro, H. Tabrani, Bung Tomo dan lain-lain. Mereka semua mengucapkan selamat dan terima kasih serta memeluk saya. Pidato sambutan saya dainggap mereka sebagai pembelaan di forum International.

Uraian saya itu disiarkan dalam berbagai bahasa seperti bahasa Inggris, Perancis, Tionghoa, Arab, Urdu dan bahasa Indonesia oleh IBC (Indonesian Broadcasting Corporatioan) dan harian-harian yang terbit di Jogyakarta.

Saya teringat juga kejadian ketika dalam bulan Oktober 1948 mendapat instruksi untuk membawa satu kopor uang Belanda dari pihak pemerintah pusat RI ke Jakarta untuk membantu perjuangan kaum Republik di Jakarta dan di antaranya untuk membiayai “Sari Pers” yang ada di bawah pimpinan Sastro Suwignyo di jalan Guntur. Untuk menyelundupkan uang itu saya harus menempuh jalan-jalan yang berbahaya dan mempunyai kisah tersendiri.

Setelah Belanda melakukan aksi militer kedua, saya tetap tinggal di Jogyakarta dan terus membantu para pejuang misalnya kontak dengan pemuda-pemuda, tentara, pelajar dan anak-anak gerilyawan diluar kota Jogyakarta. Karena hal itu nyawa saya sering hamper melayang.

Setelah resolusi Dewan Keamanan mengenai perundingan RI-Belanda, di Jogyakarta terbentuk Panitia Pemulihan Pemerintah RI Pusat, yang diketuai oleh Bapak Ki Hajar Dewantara dan saya sendiripun menjadi anggota dalam panitia tersebut.

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa pemimpin lainnya kembali dari Bangka ke Jogyakarta, di Jogyakarta dibentuk Panitia Penyambutan untuk menyambut rombongan para Pemimpin itu, dimana saya pun menjadi anggota panitia itu.

Ketika Belanda menyerahkan kedaulatan ke tangan Republik Indonesia, Bung Karno harus pindah lagi dari Jogyakarta ke Jakarta. Saya mendapat kehormatan terpilih rombongan 12 orang pengantar beliau ke Jakarta dengan plane pertama “Garuda” dimana saya satu-satunya orang yang bukan warga-negara RI. Di antara ke-12 orang itu terdapat antara lain Ki Hajar Dewantara, Mr. Susanto Tirtoprojo, Sri Paku Alam, Raden Mas Haryoto dan lain-lain.

Kejadian-kejadian itu menjadi kenangan yang indah dan memberikan suatu perasaan bangga karena perintah dari Imam Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Khalifatul Masih II ra dengan demikian merasa sebagai suatu kewajiban yang suci untuk mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa Indonesia, sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “Hubbul wathan minal iiman”, bahwa kecintaan kepada tanah air adalah sebagian daripada iman.

Pemerintah RI/Kementrian Penerangan telah mengeluarkan Surat Penghargaan atas nama saya tertanggal 3 Agustus nomor 39/UP/Ktr dengan kata-kata antara lain:

“Pernyataan penghargaan ini didasarkan atas jasa-jasanya yang telah diberikan kepada perjuangan Bangsa Indonesia dan Negara Republik Indonesia sewaktu masih harus mempertahankan dan memperkokoh kedudukan Negara. Ia selalu menyumbangkan fikiran dan tenaganya dengan sepenuh keyakinan untuk membuat pendapat umum international bahwa perjuangan RI adalah benar dan adil”.

Selain Sayyid Shah Muhammad selaku tokoh Ahmadiyah yang pengabdiannya baru kami turunkan penuturannya diatas masih banyak lagi tokoh Ahmadiyah yang lain yang benar-benar telah mencurahkan segenap apa yang ada padanya untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Misalnya Bapak E. Moh Tayyib. Ia seorang pejuang kemerdekaan yang tabah. Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia terpilih menjadi anggota KNI Singaparna, Tasikmalaya. Ia ikut gerakan BKR-TKR. ia turut mendirikan Gerakan Orang Tua Murid yang dilanjutkan dengan Yayasan Putera Bahagia.

Untuk jasa-jasanya mendapat Piagam tanda penghormatan dari Presiden Republik Indonesia berupa Setia Lencana. Ia diakui sebagai Pejuang Perintis Kemerdekaan. Kini ia menjadi Sekjen P.U. Perintais Kemerdekaan Indonesia. Dari tahun 1946 hingga tahun 1952, orang Ahmadi dari Cukangkawung dan 8 orang dari Sangianglobang (Tasikmalaya) telah mati syahid di tangan keganasan teror DI-TII, berhubung kesetiaan mereka kepada Pemerintah RI.

KHADIMUL AHMADIYAH MENJADI PAHLAWAN AMPERA

Hari Jumat tanggal 25 Februari 1966, ratusan penduduk kota metropolitan Jakarta mengantarkan jenazah Arief Rahman Hakim, pahlawan Ampera, ke pemakaman Blok P, Kebayoran Baru. Arief Rahman Hakim lahir pada tanggal 24 Februari 1943 di Padang. Kedua orang tuanya, Haji Syair dan Hakimah, adalah ahmadi lama dikota itu. Nama yang sebenarnya ialah Ataur Rahman, tetapi nama pertama Ataur itu digantinya sendiri dengan Arief. Untuk menunjukan keistimewaannya, lebih lanjut menambahkan nama Hakim pada akhir namanya, yang diambilnya dari nama ibunya Hakimah.

Pada tahun 1958 ia tamat di SMP dan pindah ke Jakarta untuk meneruskan pelajarannya di SMA dan kemudian pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dan selama di Jakarta ia merupakan seorang Khadimul Ahmadiyah yang aktif. Dalam pergolakan yang dicetuskan mahasiswa-mahasiswa untuk merobohkan Orde Lama, pemuda Arief tidak ketinggalan. Hari kamis tanggal 24 Februari 1966, persis pada hari kelahirannya, pemuda Ahmadiyah itu gugur kena peluru. Ia digelari Pahlawan Ampera.

Dibawah Bendera Revolusi
Sumber : Buku "Kami Orang Islam" Hal 120-125
Sumber: http://ahmadiyyalink.blogspot.com/2011/08/pengabdian-dan-kesetiaan-ahmadiyah-pada.html

Posting Komentar

0 Komentar