About Me

header ads

Ketika Agama Menjadi “Setan”


Ketika Agama Menjadi "Setan". Jubah 'Agama' yang datang untuk memenuhi kedamaian, menyelamatkan dari 'serigala-serigala' pemangsa sesama-ternyata pula jubah itu telah penuh berlumuran darah. Siapa yang menyelamatkannya? Mereka, sang Penyelamat, harus pula diselamatkan.

"Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga serombolan serigala” demikian kata penyair Romawi Plautus, tetapi lebih dari itu dalam diri manusia serigala itu bukan semaa-mata berjaga-jaga, Manusia itu merupakan serigala bagi sesamanya. Demikian Thomas Hobbes menambahkan. [1] Demikianlah pandangan skeptis terhadap manusia dewasa ini, yang saling menyerang, saling menantang, berdarah-darah, penuh amarah. Manusia membunuh sesama manusia lain, hal itu karena mereka tidak melihat yang dibunuh adalah sebagai manusia. Pembunuhan itu sendiri adalah bentuk penegasan kalau orang yang dibasmi itu jelas bukan sebagai sesama, melainkan sosok lain. Bisa setankah, pembangkang kah, pemberontak kah, penghujat kah atau yang sesat.

Di sisi lain Agama mempunyai peran signifikan dalam usaha membentuk sifat-sifat hewani tersebut menjadi lebih manusiawi, tetapi jubah agama itu sendiri ternyata pula telah bersimbah darah, sehingga jubah agama tersebut menjadi merah merekah berlumuran darah, penuh amarah, penuh dengki. Agama berperan sebagai penjaga, tetapi setiap mereka merasa sebagai penjaga sehingga yang menjaga sebenarnya juga dijaga oleh penjaga lain yang sebenarnya sedang dijaga juga, I'm holier than you, saya lebih suci dari kalian, saya lebih baik dari kamu. When religion becomes Evil, ketika agama menjadi setan, demikian sebuah judul buku karangan Kimball, seorang guru besar Agama di Universitas Wake Forest, Amerika Serikat. Setidaknya itulah ungkapan skeptis yang meggambarkan agama dalam massa-massa kekerasan.

Tentu saya bilang itu adalah pandangan skeptis. Melihat dari satu sisi kecil daripada keseluruhan yang besar bukanlah pandangan yang arif dalam mengambil kesimpulan. Ada banyak titit optimis yang bisa kita kedepankan. Jika kita melhilat agama dari esensi sejati dengan jelas kita akan berkesimpulan bahwa hal tersebut adalah perilaku umat beragama bukanlah agama itu sendiri. Jika ada yang mengadakan kekerasan dengna mengatasnamakan agama maka hal itu adalah bentuk distorsi pemeluk agama tersebut dari ajaran sejatinya. Pada dasarnya esensi setiap agama mengajarkan kedamaian, dan persatuan sesama manusia. Bahkan seorang mahatma Gandhi adalah seseorang yang seluruh hidupnya adalah untuk menentang kekerasan, padahal kita tahu Bhagavad Gita justru sebuah dialog yang memberi semangat di ambang perang dan pembantaian, tetapi Gandhi membacanya sebagai orang yang memiliki kerangkan berfikir menentang kekerasan. Lain hal nya jika kita melihat dalam kerangka kekerasan. Gandhi menafsirkan bahwa cerita Gita tentang peperangan bukanlah peperangan sebenarnya melainkan sebuah alegori, hanya lambang peperangan yang terus menerus berlangsung dalam hati manusia. [2] sebaliknya Islam yang mengajarkan kedamaian tetapi kita lihat label Islam telah menjadi baku sebagai “Produsen Teroris”. Hal-hal yang berimplikasi kekerasan dalam Alquran dijadikan “sumber api penyemangat bagi serigala-serigala itu. Begitupun kita temui hal-hal ini dalam setiap agama.

Mengapa manusia membunuh sesamanya? Mengapa terjadi kekerasan atas nama agama? Sungguh petanyaan sulit tetapi bukan berarti tidak bisa dijleaskan, saya mencoba mnelusuri dari pikiran yang cetek dalam kerangka saya sebagai seorang yang tidak setuju akan kekerasan. Lebih khusus saya melihat Islam.

Fanatisme Agama

Fanatisme agama kita kita gunakan sebagai alat untuk menelusuri kekerasan agama ini. Fenomena fanatik/ortodaoksi ini sebenarnya dibentuk untuk melindungi dirinya dari gerakan luar, mereka membentuk ortodoksi yang bersifat subyektif. Mereka memandang bahwa merekalah yang paling benar dan yang lain salah. Pada saat bersamaan kelompok-kelompok yang lain membentuk ortodoksi mereka masing-masing yang oleh kelompok lain sebagai sesat. Jadi setiap kelompok memandang dari kerangkanya masing-masing sehingga semua mengklaim merekalah yang benar dan sebaliknya mereka menaganggap kelompok yang lain salah, semua serba hitam putih. Hal inilah yang sering menyulut kekarasan. Setiap orang merasa lebih suci, lebih baik daripada yang lain.

Timbulnya kekerasan sebenarnya merupakan sebuah solusi karena tidak adanya jalan keluar lain. Seperti bayi yang tidak dapat apa-apa lantas dia mengamuk, meraung-raung dan meronta-ronta. Hal itu terjadikarena adanya kesenjagnan antara cita-cita (das sollen) dan kenyataan (das scin). [3] Situasi ideal yang diharapkan tidak pula terjadi sehingga terjadilah masssa-massa yang frustasi yang penuh amarah, timbullah tindakan-tindakan refresif.

Dalam konteks beragama begitupun keadaannya, para pemeluk agama yang ingin mempertahankan kemurnian agamanya, yang dengan semangat fudamentalnya tak mau berbagi keimanan atau keyakian kepada orang lain. Persinggungan kepada “setan-setan” tersebut semakin kuat. Maka akan semakin terbentuk lah collective identity - membentuk identitas kelompok yang harus dipertahankan. Aksi dalam mempertahankan inilah yang kadang memacu kekerasan. Hal itu terjadi karena pemutlakan kebenaran ajaran agamanya. Ajaran saya pasti benar dan agama lain pasti salah.

Disinilah fanastisme muncul, yang kemunculannya adalah karena menghadapi realitas yang berntentangan dengan keyakinannya. Semakin terjadi gesekan dan dia mersa tersingkir, terpengaruh maka tindakan fanatis dan defense mechanism-nya semakin tinggi. seperti dalam pertandingan sepokbola, aura persaingan akan semakin meningkat saat-saat pertandingan akan dimulai. Hawa pertarugan meningkat. Semakin meningkat pertarungan semakin meningkat rasa kelompoknya yang disisi lain menghadapi kelompok lain. Sebuah pertandingan yang fair dia akan mengakui kekalahan timnya tetapi yang tidak terima dia akan marah, terjadilah pertarungan di lapanan bola, orang-orang yang tidak ikut dalam permasalahan ikut-ikutan karena yang sedang bertempur bukanlah antara individu melainkan antara kelompok, karena saya ada dalam kelompok maka saya akan melawan kelompok itu, siapapun orangnya saya akan lawan karena mereka ada dalam kelompok mereka, tak peduli disana ada kawan, ada saudara, ada wanita, ada anak kecil. Karena dia tidak berfikir dalam dirinya seniri tetapi corak pikirannya adalah berpikir kelompok, kelompok telah mematikan pikiran dia sebagai individu . Individunya telah hilang ditelan identitas kelompoknya. Apakah dalam situasi itu bisa berfikir individu, jawabannya bisa tetapi dia akan melawan arus yang begitu besar, sehingga mau-tak mau dia akan terseret ikut arus atau denganmelwannya maka akan terlempar, akan terkucil atau dan pada saat itu menjadi bukan bagian dari kami, sehingga kau aaakan menjadi yang terbuang.

Hal itu samalah halnya dengan fir'aun, yang karena takut umat terpengarauh akan ajaran baru yang dibawa Nabi Musa a.s dianggap Musa telah melakukan keresahan di masyarakt maka tak ada jalan lain, bunuh Musa! Hal itu terjadi karena tidak adanya jalan untuk merintangi, tak adsa cara untuk membendung.

Jadi dari situ kita melihat bahwa fanatik berlebihan itu sebenarnya adalah bentuk perlindungan diri dari gerakan luar, membentuk ortodoksi yang bersifat subyektif, memandang dia yang paling benar dan yang lain salah. Mekanisme ini semakin meningkat tatkala dirasa gerakan yang dianggap mengancam semakin membuat resah maka hal itulah yang menyulut kekerasan.

Sisi lain adalah kekerasan itu muncul karena ketakuatan atau kepanikan. Timbullah defense mechanism tadi-mekanise pertahanan diri. MAW Brouwer mengatakan bahwa fanatisme itu timbul karena ketakutan atau kepanikan. Setiap orang segan mengubah pola pikir dan sikapnya, setiap hal yang tidak cocok dengan pola itu, dilawan dan dihilangkan dengan berbagai macam akal . [4]

Fanatisme memberikan perasaan enak, bahwa orang telah menjadi suci hanya dengan membunuh atau menyiksa orang yang menurut dia tidak suci. Dan kembali seperti dikatakan tadi orang yang dalam kelompok tak sedang berfikir dengan rasio pribadinya, melainkan telah disetir oleh pikiran kelompooknya. Wolfgang Sofsky mengatakan bahawa dalam rasa paniknya manusia tidak menjadi tuan atas rasionya. Rasio tidak begitu saja dapat mengusir rasa cemasnya, justru sebaaliknya rasa cemas itu mendikte rasio-rasionya sehingga persepsi-persepsinya dan lebih dari itu absatrasksinya tentang dunia luar terdistorsi.

Sumber dari fanatisme dan kebengisan yang menyertai nya terletak dalam jiwa manusia yaitu dalam pelairian psikis dari perasaan tak pasti yang tak tertanggungkan. Dengan demikian fanatisme massa dan kekerasan yang menyertainya bukanlah tanda kekuatan melainkan tanda katidak-berdayaan manusia sebagai individu. Fanatism, demikian kata Nietzche adalah satu-satunya jalan yang membawa orang-orang lemah kepada kekuatan kehendak. [5]

"Setan" yang Membunuh “Setan”.

Kemudian satu hal lagi adalah dari kekerasan itu timbullah persepsi dehumanisasi atau setanisasi terhadap sosok yang diperangi. Bukan sebagai sesama lagi melainkan sebagai bukan sesama bahkan bukan sebagai manusia bahkan lebih rendah dari itu atau yang dianggap lebih berbahaya dari manusia. Karena yang dianggap sebagai sesama manusia tidak akan melakukan kekerasaan, karena dirinya sendiri tersermin di dalam yang sama itu. Dengan demikian kekerasan dilakukan bukan terhadap yang sama melainkan yang lain. Korban dipersepsikan dengan cara yang khas sedemikian rupa sehingga dihadapan pelaku tampil dalam sosok yang terasing, asing sebagai manusia.

Prof Khaled M Abou Al Fadl mengatakan bahwa intoleransi terjadi ketika sebuah agama menganggap agama lain, karena tidak mau mencari keselamatan menurut agama yang pertama. Maka pengikut agama lain itu menjadi tidak berharga sebagai manusia. Dan karena mereka di dehumasnisasi, lalu secara psikologis anda akan pecaya anda bukan membunuh manusia melainkan membunuh setan, kejahatan. [6] Dengan pandangan seperti itu pelaku kekerasan itu tidak lagi terbebani dosa bahkan perasaan eforialah yang mereka rasakan, karena mereka menganggap bahwa setan telah dibnunuh dan mereka merasa sudah menang melawan dosa.

Dehumanisasi atau demonisasi (setanisasi) adalah mekanisme untuk memproyeksikan citra negatif terhadap musuh, agar seolah-olah seperti demon (setan), pencitraan ini tertu sangan efektidf sekali apabila dilakukan oleh yang mempunyai otoritas seperti negara maupun agama. Massa akan mendapat legitimasi sehingga mereka berperang dengan semangat yang suci.

Tetapi sebenarnya mereka yang menganggap korbannya sebagai bukan manusiawi maka dia dengan sendirinya menempatkan diri sebagai bukan manusia lagi. Seperti dikatakan oleh Dimetrios Julius, seorang ahli psikoanalisa mengatakan bahwa, "Poin yang perlu dicatat adalah bahwa proses dehumanisasi orang lain ini juga mempunyai cara dehumanisasi individu itu sendiri. Saat kita menolak martabat dan rasa hormat terhadap orang lain, sebenarnya juga hilang kemanusiaan dan rasa hormat terhadap diri diri sendiri”. Maka semakin kita melakukan dehumanisasi terhadap musuh kitapun sebenarnya telah menjadi kurang manusiawi (less Human). [7]


Sebagai insan beragama tentunya bukanlah tarikan-tarikan nafsu manusiawi yang harus dikedepankan. Dorongan-dorongan tersebut harus diselaraskan dengan akhlak Qurani. Umar, Khlaifah kedua dalam Islam mengurungkan niatnya membunuh seorang kafir yang sudah tak berdaya lantaran korban itu meludahi muka Umar, Alasan beliau adalah karena beliau takut membunuh karena nafsu bukan karena Allah. Dorongan-dorongan itu adalah cipataan juga tetapi Allah mengatakan bahwa dorongan itu tak bisa bebas,harus ditekan, dalam artian digiring kepada hal yang positif, karena sesunggunya nafsu itu laammarotun bissui, nafsu itu akan membawa kepada kekejian. Betapapun sucinya niat kita apabila sudah nascu yang lebih menonjol maka kesucnia itu bisa berubah menjadi kekejian. Ketika Rasulullah dicaci oleh Abdullah bin Ubayy semua sahabat menjadi berang, ingin membunuh Ubay, bahkan anaknya sendiri yang sudah masuk Islam berambisi sekali ingin membunuh ayahnya yang kafir tersebut. Tetapi rasulullah berdiam saja dengan mengatakan tidak ada hukuman kepada orang ini. Pembawaan kita kadang menunut untuk bertindak tetapi tuntutan itu harus kita sesuaikan dengan jiwa Alquran seperti apa Alquran mengarahkan. Tidak bisakah kita bersikap seperti salahseorang keluarga Firaun yang berpesan kepda fir'aun, “apa! Apakahkamu akan membunuh Musa lantaran dia mengaku sebagaiutusan Allah?” disana terlihat dia tidak mengedepankan nafsu. Bahwa kenapa harus membunuh lantaran pengakuan itu, toh tidak ada apa-apa kan bagi kalian, kalo dia salah dia sendiri yang rugi. Hal itu sebenarnya adalah hendaknya kita mengedepankan bahwa jangalah nafsu itu terlalu menguasai. Kalau kita tidak setuju maka dihadapi dengan cara-cara yang beradab.

Jadi yang sebenarnya sikap kita adalah menyesuaikan nafsu kita dengan apa yang diajarkan kepada Alquran sehingga kita bisa menyelaraskan nasfu kita tersebut. Bukan sebaliknya amarah yang dikedepankan dengan mencari-cari jangan-jangan ada ayat-ayat yang bisa meligitimsi kekerasan tersebut. Pada prakteknya kelihatan sama, antara orang yang mengartasnamakan agama, tetapi akan terlihat jelas bedanya antara orang yang menyesuaiakan emosi mereka dengan agama dengan orang yang menyesuaikan Alquran dengan nafsu mereka, Agama dijadikan klaim teologis untuk membenarkan tindakan-tindakan serigala mereka.

Esensi Islam Damai

Islam secara autentiknaya mengajarkan kedamaian, kasih sayang dan toleransi terhadap sesama. Salah satu ajaran pokok ajaran islam adalah pengnakuan kebenaran terhadap semua utusan tuhan untuk memberi petunjuk kepada manusia (Q.s. 10:48; 13:8; 16:37; 35:25) Islam dengan tegas mengajarkan tentang tiadanya pemaksaaan dalam beragama (2:257) karena jika Tuhan mau memaksakan kehendaknya pasti semua orang beriman (10:100) maka mengapa pula kita memaksa manusia untuk beriman (Yunus: 100) karena hanya dengan seizin Allah lah seorang dapat beriman (yunus 101). Islam sepenuhnya memberi kebebasan untuk beriman ataupun tidak bahkan menjadi atesis sekalipun ( 18:30) Islam mengajarkan manusia akan bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing di akhirat (10:109) tugas kita hanyalah sebatas mengajak dan menyadarkan saja tidak lebih dari itu, toh kitapun tidak dirugikan , mengapa harus marah karena kita tidak menangung dosa orang lain dan takkan bisa. Adalah sikap lemah lembut dan kasih sayang yang diajarkan oleh Islam bukan kekerasan, karena kekerasan itu justru akan mejadi bumerang bagi diri sendiri (6:109). [8]


Mirza Tahir Ahmad dalam salah satu acara tanya jawab mengatakan bahwa "semua bebas untuk memeluk agamanya masing-masing, tidak ada hak bagi siapapun untuk menyandang hak dan keweenangan Tuhan (godly part) bagi sesama manusia lainnya yang juga hidup di bumi ini. Karena Allah lah yang mengetahui mengapa mereka menjadi demikian. Lagi pula setiap orang tidak bisa memilih mau lahir dari agama mana, karea sering mereka dipilihkan oleh lingkungan sosialnya masing-masing. Jika ada orang yang menjadi ateis sangat boleh jadi dikarenakan mereka tidak terbimbing kepada jalan tuhan. Allah lah yang maha mengetahui sehingga Dialah yang memahami mereka harus diperlakukan pada hari kiamat kelak, pada kehidupan di dunia kita tidak berhak memutuskan sesuatu atas nama Tuhan. "[9]

Khaled Abou el Fadhl mengatakan : “bila seseorang mengenai tuhan dia bisa saja orotoritatif yaitu yang dapat anda mintai pandapat mereka karena mereka jujur, rajin, memeriksa semua petunjuk teks dan alam secara filosofis dan menyeluruh. Namun mengatakan patuhi saya atau anda bukan Muslim itu adalah otoriter. Otoriter adalah tindakan merampas wilayah milik Tuhan dan wilayah Tuhan merupakan otoritas absolut untuk menyatakan, menilai, memutuskan dan memulai dan mengakhiri sesuatu." [10]

Toleransi

Realitas kehidupan menujukkan betapa menjemuknya kehidupan ini yang masing-amsing mampunyai kepentingan yang berbeda-beda, dan perbedaan itu acapkali menjadi akar percekcokan, perselisihan persengketaan, perkelahian bakhkan peperangana. Sikap berbeda yang terarah kepada ketidak serasian ini akan mendorong masiing-masing individu ataupun kelompok untuk menundukkan yang lain. Kalau sikap ini dibiarkan maka konfliklah yang akan terjadi.

Begitupun setiap agama memiliki sifat eksklusif masing-masing dengan klaim kebenarnnya. Hal ini tidaka akan terjadi konflik jika dibentengi oleh sikap toleransi. JIka kebenaran itu adalah dari tuhan maka sikap kita hanyalah mengajak tidak dengan memaksa apalagi dengan kekerasan. Hal yang dikedepankan adalah pendekatan dialogis. Dawan raharjo mengatakan: “semua agama harus dianggap benar menurut keyakinan pemeluk masing-masing, sebab prinsip ini merupakan landasan bagi keadilan, persamaan hak dan kerukunan antar umat beragama.” [11]

Penutup

Semua agama, semua keyakinan membutuhkan sesuatu yang difanatikinya sebagai sarana pemersatu dengan komunitsnya, hal ini adalah manusiawi. Setiap agama bekeyakinan agamanyalah yang akan mensejahterakan manusia, dunia akhirat. Agamanya-lah yang paling benar, agamanyalah yang istimewa dll, yang intinya seorang beragama pasti ada hal-hal yang difanatikinya tanpa itu keberagamaannya adalah semu, tak ada makna apa-apa. [12]

tetapi bukanlah sikap fanatik membuta dengan pemutlakan kebenaran dengan menafikan kebenaran dari perspektif lain. Fanatik adalah penting tetapi tak kalah penting juga menghormati keyakinan keyakinan lain.

Berpijak dari realitas kekerasan beragama yang begitu kuat maka sudah saatnya kita berkewajiban mengembalikan pesan otentik agama, yang damai, penuh kasih sayang dan saling menghormati. Agama tidak dipeluk dengana paksaan atau intimidasi atau dengan jalan kekerasan. Keyakinan tidak bisa dirubah dengan kekerasan. Agama sebanarnya adalah perubahan dalam hati. AGama bukanlah suatu organisasi politis. Agama datang untuk mengadakan perubahan rohani yang terjadi di dalam lubuk hati sanubari serta hubungannya denganaruh manusia, tidak ada suatu pedang, tidak ada suatu kekuatan, tidak ada suatu kekuatan yang bagaimnanapun hebatnya dapat mengubah hati manusia. [13]
Jusmansyah
Karawang, 1 Mei 2008
Catatan kaki:
[1] F. budi Hardiman, Meahami Negativitas, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), cet. 1, hal. 183
[2] Goenawan mohamad, Catatan Pinggir 3, (Jakarta: Grafiti, 205) cet ke-3, hal 214
[3] Bustanuddi agus, “ Kekeran Atas Nama Agama” media Indonesia, 05/08/05
[4] M.A.W.Brouwer, Antara Senyum dan Tertawa, (Jakarta: Gramedia, 1980)
[5] Budi Hardiman, “Memahami Akar-akar Kekerasan Massa, Kompas, 03/03/04
[6] Khaled M Abou el-Fadhl, “Produk Sampingan Kolonialisme,” Kompas, 24/07/05
[7] Priyono b Sumbogo, “Setanisasi Ahmadiyah”, Forum, no. 14, 31/7/05
[8] Bashir Ahmad Orchard, “Toleransi beragama dalam Islam,” Darsus, no 15, April 2002
[9] Darsus, no.50, juni 2000
[10] Khaled M Abou el-Fadhl, op.cit,
[11] Dawam Raharjo, “Kala MUI menghramkan Pluarisme, Tempo, 2/05/05
[12] Bustanuddin Agus, “islam dan plurasime Agama., republika, 22.10/05
[13] Tahir Ahmad, Penumpahan darah Atas nama Agama, terj. Mian Abdul hayye, (tt: Jemaat Ahmadiyah Indoesia, 1984), hal 17

Posting Komentar

0 Komentar