About Me

header ads

Buruh


"Cara melihat dan menyelesaikan penderitaan buruh. Bagi Weitling, yang penting bukan teori dulu. Yang penting adalah perjuangan memperbaiki nasib itu sendiri. Bagi Marx seperti kemudian ditekankan oleh Lenin, tanpa teori Lenin revolusi tak ada revolusi. Lenin bahkan mengecam gerakan buruh yang tak mengembangkan kesadaran kelas ke perjuangan politik. Dia mengecam serikat sekerja yang cuma mengurus gaji, lembur, dan cuti."




Tidak seorang pun kini ingat akan Wilhem Weitlling, seorang tukang jahit, ketika semua orang tak akan lupa Dr. Karl Marx. Tapi kedua orang itu pernah bertemu, pada taun 1846, dan dialog mereka bisa bercerita banyak tentang kemelaratan dan perjuangan.

Hari itu ada rapat Deutscher Bildungsverein di kota Brussels pada awal musim semi. Perhimpuan itu sebenarnya pertemuan rahasia kaum kiri Jerman yang terusir dari tanah air. Marx masih berumur 27 tahun waktu itu; rambut tebal menjambul hitam, jas panjangnya terkancing sampai atas, dan ia cuma dikenal karena ia tadinya redaktur Rheinische Zeitung.

Weitling sebaliknya. Dia tokoh gerakan buruh yag pernah dipenjarakan 10 bulan di Zurich karena bukunya yang menggambarkan Yesus sebagai seorang komunnis revolusioner. Malah tahun itu, weitling sudah menerbitkan tiga buah buku.

Syahdan, kedua orang itu terlibat debat. Tentu saja weitling bukan sebanding Marx. Dia seorang tukang jahit dan otodidak. Dia anak haram seorang babu Jerman. Wajahnya lumayan bagus, tetapi dibahwah rambut pirangnya dia berpakaian seperti pedagang keliling. Dan dia berbicara bertele-tele dengan rupa orang yang kesusahan. Dan Marx –yang selalu gemar berperang kata -jadi tak sabar.

Yang dipersoalkan dalam rapat yang dipimpin Engels itu ialah perlunya para anggota gerakan perbaikan nasib kaum buruh untuk punya doktrin bersama. Marx- yang duduk disebelah Engels dengan tangan pegang pensil dan kepalanya bagaikan kepal singa-sudah mulai menembak bahkan sebelum Engels selesai. “ayo ceritakan, Weitling,” katanya, “Argumen apa yang kau pakai unuk mempertahnkan kegiatan revolusi sosialmu.”

Weitling pun berpanjang lebar. Bukan tugasya untuk bikin argumen, katanya. Dia tak bikin dasar pemikiran tak juga teori ekonomi. Dia hanya menggunakan apa yang ada untuk membuka mata buruh tentang nasib meerka.

Mendengar ini, Marx angkat suara. Tanpa ide ilmiah dan doktrin yang konkret, katanya, kita hanya akan kasih buruh satu permainan kosong.

Weitling mencoba membela diri, dengan pipi pucatnya yang jadi merah. Dia katakan, dengan suara menggelager, bahwa macam dia tak bisa dikatakan cuma omong kosong. Betapa ia terhibur oleh ratusan surat dan pernyataan terima kasih dari para buruh di seluruh Jerman. Tak ayal, marX meluap. Dia pukul meja keras-keras dan berdiri dan berteriak, “kebloonan tak akan membantu siapa pun!” dan rapat bubar.

Konfrontasi hari itu bisa dipakai untuk ilustrasi tentang dua cara melihat dan menyelesaikan penderitaan buruh. Bagi Weitling, yang penting bukan teori dulu. Yang penting adalah perjuangan memperbaiki nasib itu sendiri. Bagi Marx seperti kemudian ditekankan oleh Lenin, tanpa teori Lenin revolusi tak ada revolusi. Lenin bahkan mengecam gerakan buruh yang tak mengembangkan kesadaran kelas ke perjuangan politik. Dia mengecam serikat sekerja yang cuma mengurus gaji, lembur, dan cuti.

Tak aneh di Amerika pada tahun 1940-an, gerakan buruh komunis berdemonstrasi untuk mengganyang Chiang kai Sek nun jauh di Cina, sedang gerakan buruh Katolik menunutut gaji naik demi anak- bini yang keroncongan. Tak mengherankan bila kaum Marxis kecewa ketika buruh gula di jawa pada tahun 1920-an cepat puas setelah mogok mereka berhasil dan gaji diperbaiki. Kok tak terus, padaahal dunia belum diubah dan perjuangan belum selesai?

Dan itulah soalnya. Dunia memang perlu diubah, dan mengubahnya sulit serta lama, sementara buruh bukanlah semuanya para resi yang bisa tahan bertapa untuk surga yang masih jauh. Lagipula atas nama banyak hal yang muluk dan surga yang kelak, buruh sering jadi korban.

Conothnya bisa di kanan, bisa di kiri. Rezim kanan korea Selatan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan, tata caranya ialah dengan mendukung konglomerat (Chaebol) dan pada saat yang sama mengekang buruh agar tak menuntut banyak. “jika kita membangun Imperium,” kata seorang pemimpin Chaebol Luccky-Goldstar Group di Seoul kepada wall street journal, “kita pelu anggota yang loyal.” dan seruan harap loyal itu juga terdengar di pemerintahan kiri, yang justru membawa nama proletariat di induknya. Munculnya solidaritas di polandia dari tongkrongan komunis adalah meletupnya lahar ketidakpuasan buruh di bawah satu partai Bolsyewik-setelah sejak zaman Lenin mereka suruh membungkuk demi revolusi.

Siapa tahu bahwa ironi itu akan terjadai di Polandia yang baru kini. Solidaritas menang, ikut pemerintah dan harus membangun ekonomi. Kini, Kuron, bekas pemimpin buruh yang jadi menteri perburuhan, tiap pekan muncul di televisi dan mengumandangkan logikanya pengorbanan. “saya dulu biasa bekerja dengan pemogokan”, katanya, mengeluh tapi apa daya. “ kini saya harus memadamkannya.”

Dia tahu dilema ini karena dia buruh, seperti juga Weitling di depan marx tahu karena dia bukan intelektual yang bisa meramal sejarah, bukan pula nabi yang bisa bicara tentang puasa dan surga. Dia cuma anak babu, si tukang jahit yaag tahu apa artinya miskin.
Sumber:
Catatan Pinggir 3, Gunawan Mohamad 3
(Jakarta: Grafiti, 2005), cet ke-3 2005, hal. 100-102.

Posting Komentar

0 Komentar