About Me

header ads

Idul Adha dan Pemanasan Global

How’BOUTyou 19 desember 2007




“Pada hari raya Qurban banyak orang yang menyembelih hewan Qurban dan menyantap dagingnya. Tetapi setiap orang yang mempersembahkan pengorbanan hendaknya merenungkan, setelah itu kemampuan dan kesanggupan apa lagi yang telah kita raih dalam mengobankan keinginan pribadi kita di jalan Allah”
Bumiku Yang Asri



Sedikit kita layangkan pandangan dan qalbu kita, ke sekeliling dimana kita berpijak, dimana kita bernafas, dimana kita makan, minum dan sebagainya. Betapa rapuh rupanya bumi kita bagai seorang kakek rengkuh yang masih setia setiap pagi menggendong cucunya sekedar untuk mengantar mereka bemain. Pandangan global terhadap bumi kita betapa tidak membuat kita meringis, entah mungkin tinggal menunggu waktu kapan kehancuran tiba. Tetapi tidak, pandangan pesimis ini bukanlah sikap insan sejati. Tak terpungkiri memang keadaan bumi kita yang rapuh adalah karena ulah manusia sendiri yang dari itu justru kita pulalah secara bersama memperbaiki atau minimal menghambat laju kerusakan. Disinilah yang diperlukan adalah “pemenggalan ego pribadi/kelompok, kesenangan pribadi, ambisi pribadi demi kepentingan besama. Dalam momentum menyambut hari raya Qurban ini saya yang lemah ingin mengetengahkan pesan Idul adha yaitu “Sembelihlah ego pribadi!” Ego dalam ranah ketuhanan maupun dalam ranah kemanusiaan.

Perayaan Idul Adha sebenarnya tak lain adalah perayaan mengenang pengorbanan tinggi yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s dan anak tercinta beliau nabi Ismail a.s. Penggambaran pengorbanan yang dilakukan oleh kedua insan mulia tersebut mungkin dapat saya gambarkan dalam kutipan kalimat berikut, “… seorang yang mengaku Islam membuktikan bahwa tangan, kaki, kalbu, otak, akalnya, pemahamannya, kemarahannya, rasa kasihnya, kelembutan hatinya, ilmunya, segenap kekuatan rohani dan jasmani yang ia miliki, kehormatannya, hartanya, ketentraman dan kebahagiaannya dan apa saja yang ada secara zahri maupun batin mulai dari rambut-rambut di kepalanya hingga ke kuku-kuku di kakinya bahkan sampai niat-niatnya, partikel-partikel kalbunya, dorongan-doongan nafsunya, kesemuanya itu telah mengikuti orang itu. Ringkasnya hal ini harus terbukti bahwa langkah kebenaran itu telah mencpai suatu derajat dimana apa saja yang ia punyai sudah tidak lagi menjadi miliknya melainka telah menjadi milik Allah. Dan segenap bagian tubuh serta kemampuan telah dikerahkan untuk mengkhidmati Ilahi, seakan-akan semua itu menjadi bagian tubuh Al-Haq. (Ainah kamalaati Islam).

Hal itulah yang langsung terbayang oleh saya dan mungkin juga Anda betapa teladan yang diperlihatkan oleh mereka merupakan pengorbanan tingkat tinggi yang mereka sudah tidak merasa lagi kalau diri mereka itu bukan milik mereka tetapi sudah menjadi milik Allah sepenuhnya. Tidak ada ego, ambisi, nafsu untuk menuntut terpenuhinya hak mereka. Untuk itulah melalui Rasulullah saw, pengorbanan ini adalah perayaan mengenang pengorbanan besar Nabi Ibrahim a.s. dan putera beliau. Cerita pengorbanan ini digambarkan di dalam Alquran Surah Ash-Shoffat ayat 102-110. yang berbunyi “Dan ketika anak itu telah berusia cukup untuk berlari-lari bersama-sama dia, berkatalah ia (Ibrahim), ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelih engkau sebagai Kurban” (ayat 102)”. Seorang tua (Ibrahim) berumur hampir seratus tahun hanya memiliki seorang anak. Semua kehormatan, kemasyhuran, harta, kebesaran, kemuliaan, dan harapan-harapannya ialah dikaitkan unutk sang anak. Dan kita perhatikan juga teladan dai seoang anak yang setia ini, Ibrahim a.s. berkata kepada Ismail kecil yang kesana kemari dengan lincahnya bahwa: Saya melihat dalam mimpi bahwa saya akan menyembelih engkau, sang anakpun alangkah setianya dengan berkata: “Wahai bapakku, lakukanlah pekejaan yang diperintahkan dari sisi Allah. Dengan karunia Tuhan (insyaallah) akan saya jalani dengan penuh kesabaran”. Betapa pengorban yang diperlihatkan oleh kedua insane mulia ini begitu besarnya semata-mata karena Allah, kerelaan, keberanian mempersembahkan nyawa sekalipun di sisi Tuhannya.
Kita mungkin banyak melihat bahwa tidak sedikit banyak orang yang dengan penuh semangat tanpa rasa takut dengan hobi-hobi dan kegiatan menantang maut, kegiatan-kegiatan yang maut tidak lagi menjadi bahan perhitungan. Tetapi unutk mengorbankan keinginn sendiri pada setiap saat dan setiap waktu denga menhadapi maut karena Allah belum tentu semua bisa dan untuk itu diperlukan standar tinggi yang Ibrahim a.s. dan ismail a.s. telah perlihatkan.

Sedemikian rupa bentuk pengorbanan atas dasar kerelaan kepada Tuhan sehingga darah mengalir bagaikan sungai, ayah mengorbankan anaknya dan anak mengobankan bapaknya di jalan Tuhan dan mereka rela menyerahkan setiap denyut kehidupan di jalan Tuhan. Apakah kebahagiaan di balik ini semua kalau tidak karena didasari oleh rasa Ridho, idho karena Allah . Kalau tidak demikian maka Asatu sama lain tidak akan merasa bahagia dengan bentuk-bentuk pengorbanan yang telah dilakukan, hal ini termasuki juga terhadap pengorbanan-pengorbanan lainnya harta waktu dan kehormatan kita demi Allah hal itu tiodaklah dirasa nikmat kalau tidaka karena ridho Allah taala.
Merenggut nyawa orang lain adalah haram, khususnya membunuh ayah atau anaksangat diharamkan. Tetapi jika Allah menghendaki maka manusia tidak akan menyimpan rasa enggan sedikitpun karena itu beraarti ia telah menyerahlan diri kepada kehendak Tuhan. Jadi semua pengorbanan itu mutlak harus di dasakan adalah untuk Tuhan, kalau tidak demikian maka berarati mereka berkurrban hanya untuk memuaskan nafsu pribadi.
Dalam Islam bentuk berkat-berkat ruhani pada umat sebelumnya semuanya telah diwujudkan di dalam umat Rasulullah saw.. Islam telah menciptakan realitas pengorbanan ini yang di dalamnya telah ditentukan untuk bentuk-bentuk pengorbanan yaitu manusia hendaknya mengobankan hawa nafsu pribadinya dan hidupnya dengan seluruh kekuatan dan seluruh kemampuannya di jalan Allah., mengabdi kepada Tuhan dan mempersembahkan darah kehidupannya, anak-anaknya dan orang-orang yang mereka cintai dan kasihi sehingga ia tidak memberikan keutamaan terhasap sesuatu melebihi kepada Tuhan. Jiwa-jiwa pengurbana inilah yang terlukiskan dalam Alquran karim yang berbunyi :


”Katakanlah, ‘jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yan kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (Q.S 9:24)
Pengorbanan zahir dalam bentuk hewan adalah sebuah isyarat dan sebagai perlambang. Sebagaimana Alquran suci menyebutkan bahwa, “Lan yanalullaaha luhuumuha wala dimaauhaa walakin yanalulaaha taqwa minkum”. Tak ada yang sampai kepada Tuhan, bukan darah dan bukan pula dagingnya melainkan ketulusan hati yang dengannya kita melaksanakan pengobanan ini. Sebagaimana kita mempersembahkan hewan kurban ini kita hendaknya mempersembahkan diri kita sekalian sendiri di jalan Allah.

Pembahasan ini bagi kita yang lemah kelihatan agak melangit tetapi baiklah kita turunkan bahasan ini agak membumi, dalam realitas sehari-hari. Seperti yang saya jelaskan dalam tulisan ini salah satu pesan dari Idul Adha ini adalah pemenggalan/penyembelihan ego. Bahwa sebagaimana tangan kita yang menyembelih hewan kuban maka seperti iut pula kitapun seperti itu, disembelih di jalan Allah. Ras kesadaran itulah yang menandakan telah hilangnya ego pribadi kita. Dalam kaitan ini, yaitu pemenggalan ego pribadi kita bahwa begitu juga juga haendaknya hal itu diterapkan dalam kaitan hablumminannas, hubungan mesra terhadap sesama manusia.. Betapa tidak, sikap ini tidak kalah penting mengingat di dalam Islam baik dalam Alquran maupun dalam hadis-hadis suci telah diajarkan dan sangat ditekankan bahwa perlakuan baik terhadap sesama manusia sama artinya dengan perlakuan terhadap Allah. Memang hak Allah adalah yang paling besar tetapi menyikapi makhluknya sebenarnya adalah merupakam cerminan. Sehingga tepatlah ungkapan yang terdapat dalam tulisan berikut: ”Saya katakan dengan sebenarnya bahwa iman manusia sama sekali tak akan benar (lurus) selama tidak meendahulukan kesenangan saudaranya dai kesenangan dirinya (Darsus, 14 Mei 2001 halaman 14)

Hal ini juga bisa digambarkan dalam kisah ini:

Seorang pertapa suci suatu ketika ingin berjalan-jalan ke kota setelah sekian lama beribadat di puncak gunung.
Dalam perjalanannya di bertemu dengan banyak orang menderita.
Dia bertemu dengan seorang yang kelaparan
Dia bertemu dengan seorang yang lumpuh tak berdaya.
Dia bertemu dengan seorang miskin yang tergeletak meninggal dunia di jalanan.
Dalam kesedihannya menyaksikan semua itu, dia lalu berseru kepada Tuhan:
“Ya Tuhan, tidakkah Engkau menyaksikan semua penderitaan ini? Tidakkah tersentuh hati-Mu? Tidakkah Engkau berbuat sesuatu terhadap penderitaan tersebut?”
Dalam keheningan yang agung Tuhan menjawab:
“Siapa bilang Aku tidak berbuat sesuatu, Aku telah berbuat sesuatu: yaitu dengan menciptakan kamu!”

Dalam konteks inilah saya ingin mengaitkan masalah ini kepada satu hal yang telah saya sampaikan dalam prolog diatas. Bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan bersama dalam masyarakat majemuk maka yang diperlukan adalah solidaritas bersama. Isu yang sekarang ramai dibicarakan adalah isu pemanasan global akibat pemakaian bahan-bahan yang tak ramah lingkungan sehingga menumpuk gas efek rumah kaca di atmosfir kita. bumi semakin panas, bongkahan-bongkahan es pun mencair rata-rata 3,1 milimeterper tahun sejak 1993 . Akibat pencairan ini mengakibtkan suhu di bumi secara keseluruhan bertambah panas yang dampak lanjutannya adalah kita susah menemukan pola cuaca serta berbagai fenomena alam yang merusak. (Kompas 17 Desember 2007). Hal inilah yang bisa mengakibatkan sejumlah negara pulau tenggelam, terjadinya krisis air bersih, bahkan sejumlah kawasan menjadi gurun. Bahkan hal itu bisa meningkat lebih jauh yaitu menicu konflik serius antarnegara karena batas-batas negara berubah akibat naiknya permukaan air laut. (Kompas 16 Desember 2007). Tetapi ironis masih saja ada negara yang enggan menoleh kerusakan ini dengan mempertahankan keuntungan sepihak padahal dampak dari kehancuran ini justru akan bisa berakibat fatal dalam jangka waktu panjang. Dalam kaitan ini tidak bisa tidak untuk perbaikan bumi yang lebih baik maka yang diperlukan adalah kesadaran global (global awareness) yang menuntut penanggalan ego pribadi, ego suatu kelompok atau suatu negara demi kebaikan bersama. Jangan hanya karena dalih ekonomi atau dalih apalah sehingga masyarakat lain menjadi imbas dari keuntungan sepihak beberapa negara. Dampak perubahan iklim memang diskriminatif bahwa sejumlah negara maju yang “membuang sampah” tetapi negara-negara miskin yang menanggung dampaknya. Seperti yang diungkapkan oleh Fiu Alisara wakil dari masyarakat Kepulauan Samoa, pasifik. “Waktu saya kecil, pulau Tebua Tawa masih penuh ditumbuhi pohon kelapa. Tapi kini kelapa telah hilang dan pulau itu telah terendam air laut..Pulau-pulau kami telah tenggelam., air tanah tercampur air Asin, terumbu karang tempat kami mencari ikan telah memutih dan mati. Sekitar 178.000 penduduk di Samoa kini terancam hidupnya. Apakah ini adil, sementara yang mengeluarkan emisi adalah negara-negara maju yang tak mengalami dampak separah kami? Kami memiliki hak yang sama untuk hidup dengan warga negara manapun di muka bumi” (Kompas 5 Desember 2007)



Tetapi angin segar sudah mulai terasa dengan adanya konfensi PBB yang membahas perubahan iklim yang diadakan di Nusa Dua, Bali 3-14 baru-baru lalu. Dimana telah dirintis upaya-upaya kesepakatan bersama untuk perbaikan bumi yang lebih ramah. Upaya-upaya itu setidaknya telah melegakan hati kita walaupun itu masih dalam tahap permulaan yang belum terlaksana, belum apa-apa. upaya itu diantaranya kesepakatan bersama-sama menurunkan emisi gas GRK antara 25-40% walaupun sejumlah negara maju masih tidak mau diikat dalam upaya itu, sungguh hal yang tidak mencerminkan kesadaran global padahal pemasok terbesar dari gas rumah kaca adalah mereka-mereka. Tetapi di balik itu semua adalah meupakan tugas kita besama yaitu dimulai dari individu-individu yang sadar lingkungan, bahwa jangan hanya karena keuntungan atau kesenangan pribadi kita sampai mengorbankan alam yang dampaknya mungkin tidak langsung kita rasakan tetapi hal itu bisa kita rasakan nanti atau oang lain yang kena imbasnya. Maka dari itu betapa penting menumbuhkan kesadaran global dengan perlahan-lahan meemangkas ego pribadi kita Semoga semangat Idul Adha ini bisa menumbuhkan semangat tidak mementingkan ego pribadi. Terakhir tulisan ini saya mengutip tulisan dari Dr. Th Huijbers,

”…Dunia hidupku dipengaruhi oleh orang lain sedemikian rupa, sehingga duniaku itu mendapat arti yang sebenarnya dari aku bersama orang lian itu. Kalau aku tinggal sendirian di suatu ruma, rumah itu disebut umahku. Kalau aku hidup di suatu rumah besama orang lain maka rumah itu mendapat arti lain, menjadi rumah kita. Sama halnya dengan dunia, kita hidup bersama dalam satu dunia sehingga dunia itu tidak dimengerti artinya lepas dari hidup bersama kita…dunia tempat aku hidup sesungguhnya bukan duniaku saja, melainkan pertama-tama dunia kita bersama”.
BAGAIMANA MENURUT ANDA, APA YANG BISA KITA LAKUKAN???

Posting Komentar

0 Komentar